Kamis, 28 Agustus 2014

KISAH MUJAHID PENGHAFAL QURAN YANG MENINGGAL DALAM KONDISI MURTAD

Kisah pilu seorang tabiin yg hafidz qur'an namun murtad pd saat berjihad. Hny krn asmara...
Lelaki gagah itu mengayunkan pedangnya menebas tubuh demi tubuh pasukan romawi. Ia adalah seorang tabiin (270H) yg hafal qur'an. Namanya adalah sebaik-baik nama, Abdullah bin Abdurrahim. Keimanannya tak diragukan. Adakah bandingannya didunia ini seorang mujahid nan hafal quran. Namun lacur akhir hayatnya mati dalam kemurtadan dan hilang hafalannya melainkan 2 ayat sahaja yg tersisa. Yaitu surah al hijr ayat 2-3, rubamaa yawaddulladziina kafaru lau kaanu  muslimiin, dzarhum ya`kulu wayatamatta'u wayulhihimul amal-fasaw faya'lamuun. (Org2 kafir itu diakhirat nnt sering menginginkan andai didunia dulu mrk muslim. Biarkanlah mrk mkn dn senang2, dilalaikan oleh angan2 kosong belaka, kelak mrk akan tahu akibatnya).  Seolah ayat ini adalah kutukan sekaligus peringatan اَللّه yg terakhir namun tak digubrisnya. Apakah penyebabnya? Penyebabnya adalah wanita. Inilah kisahnya;
Pedangnya masih berkilat2 memantul sinar mentari. Masih segar berlumur merahnya darah org romawi. Ia hantarkan org romawi itu ke neraka dg pedangnya. Tak disangka nantinya dirinyapun dihantar ke neraka oleh seorang wanita romawi, tdk dg pedang melainkan dg asmara. Kaum muslimin sedang mengepung kampung romawi. Tiba2 mata Abdullah tertuju kpd seorang wanita romawi di dalam benteng. Kecantikan dan pesona wanita pirang itu begitu dahsyat mengobrak-abrik hatinya. Dia lupa bahwa tak seorangpun dijamin tak lolos su'ul khotimah. Dia lupa bahwa maksiat dan pandangan haram adalah gerbang kekufuran. Tak tahan, iapun mengirimkan surat cinta kpd wanita itu. Isinya kurang lebih: "Adinda, bgm caranya agar aku bs smp ke pangkuanmu?" Perempuan itu mjwb: "Kakanda, masuklah agama nashrani maka aku jd milikmu."
Syahwat telah memenuhi relung hati Abdullah sampai2 ia mjd lupa beriman, tuli peringatan dan buta alquran. Hatinya terbangun tembok anti hidayah.
Khotamallaahu 'ala qulubihim wa'ala sam'ihim wa'ala abshorihim ghisyawah... Astaghfirullah, ma'adzallah. Pesona wanita itu telah mampu mengubur imannya di dasar samudra. Demi tubuh cantik nan fana itu ia rela tinggalkan islam. Ia rela murtad. Menikahlah dia didalam benteng. Kaum muslimin yg menyaksikan ini sngt terguncang. Bgm mungkin? How come? Bgm bisa seorg hafidz yg hatinya dipenuhi alqur'an meninggalkan اَللّه dn mjd hamba salib? Ketika dibujuk utk taubat ia tak bs. Dikatakannya bhw ia telah lupakan qur'an kecuali 2 ayat diatas sj dan ia bahagia hidup berlimpah harta dan keturunan bersama kaum nashrani. Dalam keadaan spt itulah dia sampai wafatnya.
Ya اَللّه seorang hafidz nan mujahid sahaja bs Kau angkat nikmat imannya berbalik murtad jika sudah ditetapkan murtad, apatah lg hamba yg bnyk cacat ini. Tak punya amal andalan.

Saudaraku, doakan aku dan aku doakan pula kalian agr اَللّه lindungi kt dr fitnah wanita dan fitnah dunia serta dihindarkan dr ketetapan yg buruk diakhir hayat.

Ma taraktu ba'di fitnatan adhorro 'ala ar rijaal min nisaa...
"Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yg maha dahsyat bahayanya bagi lelaki kecuali fitnah wanita" (muttafaq 'alaih).

Disarikan dr tulisan DR. Hamid Ath Thahir dlm buku Dibawah Kilatan Pedang (101 kisah heroik mujahidin) COPAST


Posted via Blogaway

Sabtu, 23 Agustus 2014

Merekrut Kader Dakwah

Sebuah keniscahyaan bila jalan dakwah ini terus membutuhkan pasokan kader. Tak bisa dipungkiri, para aktivis dakwah (da'i) memiliki andil besar untuk mencetak kader generasi muda yang militan dan mampu mengemban amanah dakwah di masa depan. Kebutuhan kader yang semakin besar untuk mengisi posisi penting dan mengatur kontribusi membutuhkan kemampuan merekrut para da'i yang telah dahulu bergabung dalam barisan dakwah.

Lalu apa jadinya ketika para da'i sudah mulai lelah dan menurun daya rekrutnya? Sudah mulai nyaman dengan kondisi yang ada? Padahal kebutuhan kader sebagai lokomotif dakwah harus terus dipenuhi. Saat kapasitas rekruitmen da'i itu menurun, evaluasi dari dalam diri yang harus menjadi kunci.

Buku karangan Fathi Yakan ini membahas tentang berbagai strategi merekrut kader dakwah. Isti'ab. Secara bahasa berarti daya tampung. Isti'ab merupakan kemampuan  seorang da'i untuk menarik objek dakwah (mad'u) dan merekrut segala perbedaan intelektual, kejiwaan, status sosial, dan karakteristik individu lainnya. Setiap da'i harus mempunyai kemampuan isti'ab. Bahkan Fathi Yakan menyampaikan bahwa indikator keberhasilan dakwah seorang da'i salah satunya ditentukan oleh kemampuan isti'ab sebab tanpa isti’ab seorang tak akan pernah menjadi da’i, bila tak ada da'i maka tak akan ada dakwah.

Isti’ab dikelompokkan menjadi isti’ab eksternal dan internal. Dua bagian ini saling melengkapi satu sama lain. Keduanya harus berjalan beriringan sebab tiada guna penguasaan terhadap  masyarakat di luar tanzhim bila tak ada penguasaan terhadap masyarakat di dalam tanzhim. Isti’ab eksternal ibarat produsen yang membeli bahan baku, sedangkan proses produksi yang akan menjaga bahan baku yang dimiliki agar tidak hilang adalah isti'ab internal.

Isti'ab eksternal berhubungan dengan cara berdakwah agar dapat diterina dan dipercaya sehingga akan ada orang yang terpengaruh hingga mau bergabung untuk memperjuangkan dakwah. Dakwah adalah usaha berat yang harus dipikul oleh para da'i. Sehingga dalam merekrut mad'u dari luar, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh para da'i dalam proses rekruitmen.

Pertama, pemahaman tentang agama. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya ilmu hanya akan didapat dengan belajar, sedang pemahaman hanya akan didapat melalui pendalaman (tafaquh), dan barang siapa yang dikehendaki Allah baik maka ia akan diberi kepahaman dalam agama, sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamb-hamba-Nya adalah Ulama.” (HR. Bukhari). Pemahaman yang baik tentang agama mutlak harus dimiliki seorang da'i. Bagaimana bisa seorang da'i yang membawa kebenaran ia tak mengetahui kebenaran yang ia bawa? Hingga akhirnya para da'i dituntut untuk terus menerus belajar dari Al-Qur'an, sunnah, dan kepada para ulama.

Kedua, mampu menjadi teladan. Tak hanya melalui lisan, da'i harus berdakwah melalui perbuatan. Konsistensi antara ucapan dan perbuatan inilah teladan yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang da’i. Satu ayat Al-Qur'an yang selalu saya ingat dan saya bincangkan setiap kali bertemu dengan binaan saya adalah "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-shaf : 2-3). Naudzubillah, semoga Allah selalu nelindungi kita. Dan sebuah hadits pun mengatkan tentang hal ini. “Seseorang tidak akan beriman sehingga hati dan lisannya sama, lisan dan hatinya juga sama, ucapannya tidak berlawanan dengan perbuatannya dan tetangganya terbebas dari kejahatannya.”(HR. Al-Ashbahani).

Ketiga, sifat sabar itu perlu. Merekrut mad'u tanpa kesabaran dan terburu-buru tak akan bisa mencetak generasi dakwah yang militan. Bahkan mengelola mad'u yang telah membai'at dirinya menjadi da'i juga harus dengan penuh kesabaran. Membina halaqah misalnya. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”(Ali-imron: 200)

Keempat, bersikaplah lemah lembut. Bersikap sabar dan lemah lembut itu ternyata berbeda. Ada satu sisi dalam sikap seorang da'i, sikap lemah lembut dalam menghadapi mad'u akan memberikan kenyamanan kepada mereka. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-imron : 159). [246]  Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Kelima, seorang da'i harusnya memberi Kemudahan. Seorang da’i hendaknya tidak mempersulit dalam menyelesaikan berbagai persoalan sebagaimana kaidah yang diterapkan rasulullah SAW dalam menentukan pilihan yang merupakan dasar yang mengatur muamalah. “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, senangkanlah mereka dan jangan membuat mereka lari” (HR. Bukhari-Muslim).

Keenam, da'i hendaknya tawadhu’ dan merendahkan sayap. Jangan sampai ujub mengisi hati seorang da'i. Mengingat Allah, merasakan bahwa Allah selalu melihat kita, muraqabatullah, mengingat bahwa sesuatu hanya milik Allah, bisa jadi akan mengikis rasa ujub diganti dengan tawadhu'. “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai adalah orang yang paling baik akhlaqnya, yang merendahkan sayap, yang mau menghimpin dan mau dihimpun. Sedangkan orang yang paling aku benci adalah orang yang mengadu domba, yang memecah belah orang-orang yang saling mencintai dan mencari-cari aib orang yang tidak berdosa.”(HR. Thabrani).

Ketujuh, murah senyum dan perkataan yang baik. Allah SWT berfirman, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah : 263). [167]  Perkataan yang baik maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian ma’af ialah mema’afkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima. Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Janganlah kalian memandang remeh kebaikan sedikit pun, meski kebaikan itu hanya berupa wajah berseri ketika bertemu dengan saudara kalian” (HR. Muslim).

Kedelapan, seorang da'i harus dermawan dan mau berinfak kepada orang lain. Dalam merekrut kader, menafkahkan sebagian dari harta kita tentu akan mendapatkan balasan lebih dari Allah. Dicontohkan pula oleh Rasulullah dan para sahabatnya, beliau rela hidup sederhana demi tetangganya atau rakyatnya tak kelaparan. “Orang yang dermawan dekat dengan Allah dan dekat dengan surga, dekat dengan manusia dan jauh dari api neraka. Sedang orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia dan dekat dengan neraka. Orang yang jahil tapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang banyak ibadahnya tapi bakhil” (HR. Tirmidzi). Sikap dermawan akan membawa kita dekat dengan objek dakwah (mad'u) yang akan kita rekrut.

Kesembilan, mampu melayani dan membantu orang lain. Berdakwah dengan melayani tentu akan sangat nikmat. Masih ingat bukan sirah ketika Rasulullah selalu mengunyahkan makan bagi seorang yahudi buta?  “Sesungguhnya diantara hal yang bisa memberikan pengampunan adalah menyenangkan hati seorang Muslim.” (HR. Thabrani). “Siapa yang memasukkan kebahagiaan ke dalam penghuni rumah kaum muslimin maka Allah tidak rela memberinya pahala selain surga.” (HR. Thabrani).

Sembilan hal tadi adalah kunci seorang da'i untuk merekrut kader eksternal. Lain jalnya dengan isti'ab eksternal, isti’ab internal cenderung membahas kapasitas dalam mengelola kemampuan dan keahlian dalam menampung objek dakwah yang telah berada di tengah-tengah jama'ah, para mad'u yang telah membai'at dirinya menjadi seorang da'i. Proses isti’ab internal memerlukan dua tahap utama, yaitu isti’ab aqidi & tarbawi sebagai tahap pertama dan isti’ab haraki sebagai tahap kedua.

Isti’ab aqidi berhubungan dengan pembersihan dari berbagai polutan masa lalu, baik menyangkut pemikiran atau tindakan, dan mencuci otak mereka dari karat-karat yang menempel berupa berbagai hal yang tidak islami. Inilah tahap yang paling penting sebab akan menjadi dasar kesuksesan membentuk karakter da'i yang militan.

Isti’ab tarbawi berhubungan dengan kapasitas tarbiyah, memperhatikan perkembangan kehidupan dan tahapan alami dan spesifik yang dilalui oleh mad'u sebagai seorang individu. Isti'ab tarbawi harus terukur dan menggunakan semua parameter syari’at dengan mengambil semua ‘azimah (hukum asal)-nya dan berbagai keringanannya.

Berbagai penyakit kader yang muncul dan menjadi sebab berjatuhannya kader selama melakukan perjalanan dakwah tak lain disebabkan kegagalan dalam proses isti'ab ini. Oleh karena itu, perlu beberapa kaidah utama yang dijelaskan oleh sunnah nabawiyah dalam proses pembentukan pribadi muslim.

Kaidah pertama, memenangkan sisi positif atas sisi negatif. Pengajaran untuk selalu membuat manfaat daripada mudharat penting dalam membentuk pribadi kader dakwah. “Orang yang bergaul dengan masyarakat, dan bersabar terhadap gangguannya lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dg masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguannya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kaidah kedua, memenangkan sikap proporsional atas sikap berlebih-lebihan. Penekanan untuk bersikap tawazun harus dilakukan dari awal. Jangan sampai seorang da'i tak bisa mengatur kehidupannya sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan. Bagaimana bisa mengelola orang lain jika mengelola dirinya sendiri tidak bisa? “Ingatlah, akan hancur orang-orang yang berlebih-lebihan.” (HR.Muslim,Abu Dawud dan Ahmad).

Kaidah ketiga, sedikit dan kontinu lebih baik daripada banyak namun terputus. Pembinaan harus dilakukan terus menerus. Hal ini bisa menjadi wajihah (sarana) untuk mengevaluasi kemajuan mad'u pula. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan oleh pelakunya secara kontinu” (HR. Bukhari dan Malik.

Kaidah keempat, mendahulukan prioritas dalam pembentukan. Pelajaran dalam kitab fiqh prioritas harus dipahami betul oleh seorang da'i. Ia harus mampu memilih dan mendahulukan prioritas utama dalam berdakwah. “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah : 177).

Kaidah kelima, pembentukan melalui keteladanan. Lagi-lagi menjadi teladan adalah teknik berdakwah yang paling mempan. Dalam keteladanan juga harus memperhatikan bahwa proses pembentukan harus menyeluruh dan tidak parsial dan menyadari bahwa keshalihan lingkungan akan mempengaruhi proses pembentukan. “Perumpamaan teman yang baik dan yang jelek adalah seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Pembawa minyak wangi akan memberikan minyak wangi kepadamu atau kamu membeli darinya atau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi, ia akan membekar bajumu atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Tahap terakhir dalam isti’ab internal ialah isti’ab haraki. Isti'ab haraki adalah kemampuan sebuah pergerakan dalam menampung anggotanya. Selain itu, isti'ab jaraki juga menaungi kemampuan gerakan dan anggotanya dalam menampung berbagai persoalan, prinsip, dan kaidah-kaidah pergerakan. Para da’i harus menguasai pemahaman yang benar dan sempurna, serta mampu menciptakan sarana yang digunakan, memahami tanzhim dan tabiatnya dengan benar, pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap tabiat teman dan lawan beserta konsekuensinya. Pemahaman yang baik tentang berbagai aspek, tabiat dan kebutuhan amal, serta menjauhi istiknaf (keengganan untuk bergabung dalam masyarakat atau instansi atau berbagai organisasi yang ada).

Sekian bedah buku berjudul Isti'ab karya Fathi Yakan. Semoga bermanfaat sebagai pengetahuan kita dalam berdakwah memperjuangkan kebenaran.

Salam kontribusi.

Deslaknyo, dalam perenungan di Masjid Al-Hurriyyah IPB.

Copast dari Group WA Tetangga


Posted via Blogaway