Sabtu, 13 September 2014

Mengokohkan Karakter Al-Jundiyah (Keprajuritan)

Adalah sudah selayaknya bila umat Islam—
terlebih lagi aktivis dakwah—menjadikan
hidupnya sebagai prajurit yang senantiasa
siap menghadapi perjuangan di jalan Allah.
Sejarah umat Islam adalah sejarah perjuangan
yang terus-menerus berkesinambungan dalam
menjunjung tinggi kebenaran agama Allah
dan menjaga kelestarian dakwahnya, serta
menjauhi segala godaan dunia lahir dan
batin.
Karakter al-jundiyah diantaranya
termanifestasikan dalam bentuk amal yang
berkesinambungan tanpa lelah dan tanpa
bosan. Sedangkan maratibul amal (rangkaian
amal)-nya adalah:
1. Perbaikan individu ( ishlah al-fard )
2. Perbaikan rumah tangga ( ishlahul al-bait )
3. Perbaikan masyarakat ( ishlah al-mujtama’ )
4. Pembebasan negeri ( tahrir al-wathan )
5. Perbaikan pemerintahan ( ishlah al-hukumah )
6. Penyiapan tegaknya khilafah ( bina al-
khilafah )
7. Pemanduan dunia ( ustadziah al-alam )
Karakter keprajuritan yang lainnya adalah
senantiasa berkobarnya ruhul jihad. Urutan
jihad yang pertama dituntut dari para aktivis
dakwah adalah pengingkaran hati terhadap
kemaksiatan pada Allah, dan puncaknya
adalah berperang di jalan Allah ta’ala.
Diantara keduanya ada jihad dengan lisan,
pena, tangan, dan kata-kata yang benar di
hadapan penguasa yang zalim.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah
kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj, 22: 78)
Ibnu Abbas ra berkata tentang pengertian
jihad, “Jihad adalah menguras potensi dalam
membela agama Allah, dan tidak takut
cercaan orang yang mencerca dalam
melaksanakan agama Allah.”
Muqatil berkata, “Makna jihad adalah:
Bekerjalah untuk Allah dengan sebenar-benar
kerja, dan beribadahlah dengan sebenar-benar
ibadah.”
Ibnul Mubarak berkata, “Jihad adalah
mujahadah terhadap jiwa dan hawa nafsu.”
DR. Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata, “Jihad
adalah mencurahkan potensi dalam rangka
meninggikan kalimat Allah, dan membentuk
masyarakat muslim. Sedangkan mencurahkan
tenaga dengan melakukan perang adalah salah
satu jenis dari jihad. Tujuan jihad adalah
membentuk masyarakat yang islami, dan
membentuk negara Islam yang benar.”
Sifat keprajuritan ditunjukkan pula dengan
at-tadhiyah , yakni mengorbankan jiwa, harta,
waktu, kehidupan, dan segala-galanya demi
mencapai tujuan.Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka.”
(QS. At-Taubah, 9: 111)
Berikutnya ditunjukkan pula dengan ketaatan
kepada qiyadah . Karena itu para aktivis
dakwah harus senantiasa siap melaksanakan
perintah qiyadah dan merealisir dengan
segera, baik dalam keadaan sulit maupun
mudah, saat bersemangat maupun malas.
Seorang mujahid dakwah sejati akan
senantiasa tsabat , yakni teguh beramal
sebagai mujahid dalam memperjuangkan
tujuannya, betapa pun jauh jangkauan dan
lama waktunya. Ia tetap dalam keadaan
seperti itu sampai bertemu Allah Ta’ala .
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-
orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka
ada yang gugur. dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merobah (janjinya), (QS. Al-Ahzab, 33:
23)
Selain itu, sebagai prajurit dakwah mereka
akan selalu bersungguh-sungguh pada suatu
urusan. Iatidak merasa berat
mempersembahkan jiwa di jalan Allah ta’ala
dan mengatur segala urusannya serta seluruh
kehidupannya sejalan dengan hukum-hukum
dan perintah-perintah Allah ta’ala. Para
aktivis dakwah harus mampu menegakkan al-
haq di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan
mereka, dalam bentuk aqidah, akhlak,
ibadah, dan perilaku sehari-hari. Hasan
Hudhaibi berkata: “Wahai Ikhwan,
tegakkanlah Islam di dalam hatimu, tentu ia
akan tegak di bumimu.”
Sifat keprajuritan yang tak kalah penting
adalah tsiqah, yakni rasa puasnya seorang
prajurit atas komandannya dalam hal
kemampuan dan keikhlasannya, dengan
kepuasan mendalam yang menumbuhkan rasa
cinta, penghargaan, penghormatan, dan
ketaatan.

Sumber: www.al-intima.com/harakatuna/mengokohkan-karakter-al-jundiyah-keprajuritan


Posted via Blogaway

Kamis, 11 September 2014

Persoalan-Persoalan Seputar Akikah


Pertanyaan :
Banyak pertanyaan diajukan kepada
Redaksi seputar mengakikahi diri sendiri
dan mengakikahi setelah hari ke-7
kelahiran. Juga bila baru punya satu
kambing untuk akikah anak laki-laki
bolehkah dengan satu kambing dahulu,
dan yang lain menyusul? Demikian juga
apakah bayi yang meninggal diakikahi?
(Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi) :
1. Mengakikahi diri sendiri.
Dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat, yang terkuat dari pendapat
yang ada adalah boleh. Berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menerangkan bahwa beliau
mengakikahi dirinya sendiri setelah
menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang
paling kuat (rajih). Sebagian ulama
melemahkannya, namun pendapat
mereka keliru. Oleh karena itu, kami
akan sedikit menyampaikan pembahasan
hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang
lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya
hanya akan meringkas apa yang
dijabarkan oleh beliau dan sedikit
menambahkan yang perlu. Adapun bunyi
hadits itu. Anas berkata,
ْﻦَﻋ َّﻖَﻋ ِﻪِﺴْﻔَﻧ َﺚِﻌُﺑ ﺎَﻣَﺪْﻌَﺑ ﺎًّﻴِﺒَﻧ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah
diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat
Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai
sanad yang sampai kepada sahabat Anas
radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin
al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas,
dari Anas bin Malik z.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi,
ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’
al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn
A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-
Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari
Qatadah, dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq,
Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
 Untuk rantai sanad yang pertama, asy-
Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah
sanad yang hasan, para rawinya adalah
orang-orang yang yang telah dijadikan
hujah (para periwayat tepercaya) dalam
Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin
Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil)
sendiri adalah seorang yang tsiqah
(tepercaya) dan hafizh (penghafal
hadits), salah seorang guru al-Imam
Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna,
beliau adalah salah seorang periwayat
dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-
Bukhari rahimahullah menganggap
bahwa Abdullah bin al-Mutsanna
termasuk tepercaya. Namun, ternyata
ada ulama lain yang membicarakan
Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena
itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
mendudukkan perselisihan ini dengan
kesimpulan bahwa al-Bukhari
rahimahullah hanya memercayai
sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna
apabila dia meriwayatkan dari
pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak
bertumpu pada riwayatnya.
Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita
bahas ini beliau riwayatkan dari
pamannya, Tsumamah bin Anas,
sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari
dalam hal ini.
a) Mengenai rantai sanad yang kedua,
terkhusus adanya perawi yang bernama
Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-
Albani mengatakan, “Semacam sanad
tersebut bisa dijadikan pendukung
sehingga hadits semakin kuat
dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu
Hatim—beliau termasuk ulama yang
keras dalam mencacat para rawi—
mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak
ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,”
yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan,
“Dia adalah orang yang diperhitungkan
pendapat dan fatwanya, memiliki
pandangan dan hafalan terhadap hadits.
Karena itu, aku dahulu menulis hadits
darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang
ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
b) Mengenai rantai sanad yang ketiga,
para ulama melemahkannya karena
kelemahan perawinya, yaitu Abdullah
bin al-Muharrar.
Dari pemaparan singkat tentang hadits
ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau
hasan. Di antara ulama yang
menganggap kuatnya hadits ini dari
ulama terdahulu adalah adalah adh-
Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam
kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-
Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan
Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya
Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga
dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-
Thahawi termasuk yang menerima hadits
ini karena mereka menyebutkan
sanadnya tanpa mengkritiknya.
Adapun para ulama yang menganggap
lemah hadits ini, di antaranya al-Imam
Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan
hadits ini mungkar, juga an-Nawawi
yang mengatakan batil, sesungguhnya
mereka melemahkan hadits ini dari jalur
rantai sanad yang ketiga. Dengan
demikian, pendapat yang membolehkan
mengakikahi diri sendiri adalah
pendapat yang rajih (kuat).
Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-
Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah
satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan
asy-Syaukani menggantungkan pendapat
ini dengan kesahihan hadits.
Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-
Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
“Apabila kamu belum diakikahi,
akikahilah dirimu walaupun kamu
lelaki.” Kata beliau, ‘walaupun kamu
lelaki’ karena ada yang mengkhususkan
hukum ini bagi wanita.
Muhammad bin Sirrin rahimahullah
mengatakan, “Seandainya aku tahu
bahwa aku belum diakikahi, tentu aku
akan mengakikahi diriku.” (ash-
Shahihah 6/506 qism 1)
Pendapat yang kedua, yang melarang,
adalah pendapat Malikiah. Al-Imam
Malik sendiri ada beberapa riwayat yang
berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid ,
4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada
pendapat ini mengatakan bahwa
seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini
adalah kekhususan bagi beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun,
sanggahan seperti ini lemah karena
kekhususan itu harus berdasarkan dalil,
sementara itu di sini tidak ada dalil yang
mengkhususkan hal ini untuk beliau.
2. Mengakikahi selain hari ketujuh.
Dalam hal ini ada tiga pendapat
sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah
al-Iraqi dalam kitab Tharhu at-Tatsrib.
Namun, dengan mengetahui persoalan
pertama, yaitu bolehnya seseorang
mengakikahi dirinya, tampak jelas
bahwa diperbolehkan mengakikahi
setelah hari ketujuh. Walaupun tentu
sangat ditekankan untuk melakukannya
pada hari ketujuh saat ada kemampuan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
ُّﻞُﻛ ٍﻡَﻼُﻏ ٌﺔَﻨﻴِﻫَﺭ ِﻪِﺘَﻘﻴِﻘَﻌِﺑ ُﺢَﺑْﺬُﺗ
ُﻪْﻨَﻋ َﻡْﻮَﻳ ِﻊِﺑﺎَّﺴﻟﺍ
“Tiap anak itu tergadai dengan
akikahnya yang disembelih pada hari
ketujuh.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan
yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-
Syaikh al-Albani)
Di antara yang berpendapat bolehnya
setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-
Syafi’i, Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Yang tampak, pengaitan akikah dengan
hari ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah
saja apabila menyembelih pada hari ke-4,
ke-8, ke-10, atau setelahnya. Penentuan
waktu ini adalah untuk
penyembelihannya, bukan untuk
memasak atau memakannya.” (Tuhfatul
Maudud hlm. 76)
Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak
membolehkan sebelum hari ketujuh.
Apakah penyembelihan itu pada hari
kapan saja ataukah tiap kelipatan
ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena
riwayat yang menyebutkan kelipatan
ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah
diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani t
dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
3. Hanya memiliki satu ekor kambing
untuk akikah anak lelaki.
Dalam hal ini hendaknya ia menunggu
sampai memiliki dua ekor kambing, dan
tidak menyembelih terlebih dahulu
kambing yang dia miliki. Hal ini
berdasarkan sabda Rasul Shallallahu
‘alaihi wasallam,
ِﻦَﻋ ِﻡَﻼُﻐْﻟﺍ ِﻥﺎَﺗﺎَﺷ ِﻥﺎَﺘَﺌِﻓﺎَﻜُﻣ
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing
yang mukafi’ataan.” (Sahih, HR. Abu
Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih
oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan
dengan beberapa penafsiran, di
antaranya adalah mutaqaribatan, yakni
seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih
bersamaan’. Dawud bin Qais pernah
bertanya kepada Zaid bin Aslam, ia
mengatakan, “Aku bertanya kepada Zaid
bin Aslam tentang makna mukafi’atan.”
Beliau menjawab, “Dua kambing yang
mirip, yang disembelih bersama-
sama.” (Musykilul Atsar karya ath-
Thahawi)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang
Akikah Janin yang Gugur dan Bayi yang
Meninggal
Pertanyaan :
Janin yang gugur dari kandungan yang
telah jelas bahwa dia laki-laki atau
perempuan, apakah diakikahi atau
tidak? Demikian juga bayi yang terlahir
apabila meninggal beberapa hari setelah
kelahiran sementara belum diakikahi
saat dia hidup, apakah diakikahi setelah
kematiannya atau tidak? Apabila telah
lewat satu bulan, dua bulan, setengah
tahun, satu tahun, atau bahkan lebih
dari saat lahirnya bayi dan ia belum
diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Jawab:
Mayoritas para ulama berpendapat
bahwa akikah adalah sunnah,
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan
dari Salman bin Amir, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,
َﻊَﻣ ُﻎْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ ٌﺔَﻘْﻴِﻘَﻋ ﺍﻮُﻘﻳِﺮْﻫُﺄَﻓ
ُﻪْﻨَﻋ ،ﺎًﻣَﺩ ﺍﻮُﻄﻴِﻣَﺃَﻭ ُﻪْﻨَﻋ ﻯَﺫَﺄْﻟﺍ
“Bersama seorang anak itu akikahnya,
maka tumpahkan darah untuk
(akikahnya) dan hilangkan rambut
(kepalanya).”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan
oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ُّﻞُﻛ ُﻍ ٍﻝﺎَﻣ ٌﺔَﻨْﻴِﻫَﺭ ِﻪِﺘَﻘﻴِﻘَﻌِﺑ
ُﺢَﺑْﺬُﺗ ُﻪْﻨَﻋ َﻡْﻮَﻳ ،ِﻪِﻌِﺑﺎَﺳ ،ُﻖَﻠْﺤُﻳَﻭ
ﻰَّﻤَﺴُﻳَﻭ
“Tiap anak itu tergadai dengan
akikahnya yang disembelih pada hari
ketujuh, digundul, dan diberi
nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabussunan,
dan dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi)
Demikian pula hadits itu yang
diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syuaib dari
ayahnya, dari kakeknya, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ْﻦَﻣ َّﺐَﺣَﺃ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﻥَﺃ َﻚِﺴْﻨُﻳ ْﻦَﻋ
ِﻩِﺪَﻟَﻭ ،ْﻞَﻌْﻔَﻴْﻠَﻓ ِﻦَﻋ ُﻎْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ
ِﻥﺎَﺗﺎَﺷ ،ِﻥﺎَﺘَﺌِﻓﺎَﻜُﻣ ِﻦَﻋَﻭ ِﺔَﻳِﺭﺎَﺠْﻟﺍ
ٌﺓﺎَﺷ
“Barang siapa di antara kalian ingin
mengakikahi anaknya, lakukanlah.
Untuk anak laki-lakinya dua ekor
kambing yang seimbang dan untuk anak
perempuannya satu ekor kambing.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dengan
sanad yang hasan)
Tidak ada akikah untuk janin yang
gugur walaupun telah jelas apakah itu
laki-laki atau perempuan, apabila gugur
sebelum ditiupkan ruh padanya, karena
dia tidak disebut anak atau bayi. Adapun
akikah disembelih pada hari ketujuh
dari kelahiran, apabila janin dilahirkan
dalam keadaan hidup, lalu mati sebelum
hari ketujuh, maka disunnahkan untuk
diakikahi pada hari ketujuh dan diberi
nama. Apabila lewat hari yang ketujuh
dan belum diakikahi, Sebagian fuqaha
berpendapat bahwa tidak disunnahkan
untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan
waktunya pada hari ketujuh.
Sementara itu, ulama mazhab Hanbali
dan sekelompok ahli fikih berpendapat
bahwa disunnahkan untuk diakikahi
walaupun telah lewat satu bulan, satu
tahun, atau lebih, dari kelahirannya,
berdasarkan keumuman hadits-hadits
dan berdasarkan apa yang diriwayatkan
al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengakikahi dirinya setelah kenabian,
dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Allah Subhanahu wata’ala lah yang
memberi taufik. Semoga shalawat dan
salam tercurah kepada nabi kita
Muhammad n, keluarga, dan para
sahabatnya.
Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiah dan
Fatwa
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq
Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan.

Sumber:  www.asysyariah.com/problema-anda/


Posted via Blogaway

Rabu, 10 September 2014

Pembagian Sepertiga dari Hasil Qurban

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sering ada yang menanyakan apakah mesti hasil penyembelihan qurban dibagi 1/3 untuk shohibul qurban, 1/3 untuk sedekah pada fakir miskin dan 1/3 sebagai hadiah. Lalu apakah hasil qurban boleh dimakan oleh orang yang berqurban (shohibul qurban)? Pembahasan ini moga bisa memberikan jawaban.

Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, جِزَ ا رَتِهَاشَيْئًا الْمَسَاكِينِ] ،وَلاَ    يُعْطِىَفِى وَجُلُو دَهَاوَجِلاَ لَهَا [ فِى ،وَأَنْيَقْسِمَبُدْ نَهُكُلَّهَا ، لُحُو  مَهَا وسلم– أَمَرَهُ أَنْ   يَقُومَ عَلَى بُدْ نِهِ أَنَّ النَّ بِىَّ– صلىا  لله عليه

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).[1]”[2] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”[3]

Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.”[4]

Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:

1. Dimakan oleh shohibul qurban. 2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka. 3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.

Pemanfaatan yang terlarang dari hasil qurban, silakan pembaca rumaysho.com telusuri dalam tulisan lainnya di sini. Termasuk dalam bahasan qurban adalah permasalahan aqiqah, artinya pemanfaatan hewan aqiqah pun seperti yang dijelaskan di atas.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 28 Syawwal 1432 H (26/09/2011)

Sumber:   www.rumaysho.com/umum/pembagian-sepertiga-dari-hasil-qurban-1965


Posted via Blogaway

Rabu, 03 September 2014

Antara Ghibah dan Ghibthah

Ghibah Dan Ghibthah.

Walau hanya selisih sedikit huruf, ada pembeda besar antara ghibah dan ghibthah.

Meski keduanya menyangkut sikap kita terhadap seseorang.

A. Ghibah = Keburukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala menjelaskan definisi ghibah,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Engkau menyebutkan tentang saudaramu dalam perkara yang dia benci (bila diketahui).."

(HR. Muslim: 2589, Tirmidzi: 1935, Abu Daud: 4874)

B. Ghibtah = Kebaikan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad melainkan kepada dua orang:

1. Seorang yang dikaruniakan Allah harta, lalu ia membelanjakannya dalam kebajikan.

2. Seorang yang Allah beri ilmu, maka ia memutuskan perkara dengan ilmu itu dan mengajarkannya...” (HR. Al-Bukhari: 73, Muslim: 816)

Hasad di sini bermakna gibthah atau kecemburuan dalam kebaikan.

Yaitu keinginan memperoleh fadhilah keutamaan serupa tanpa berharap hilangnya keutamaan tersebut dari saudaranya.

Namun anehnya, sekarang ini saat ada seseorang yang berbuat kebaikan.

Bukan ghibtah yang dilakukan malah ghibah, sibuk mencari-cari kesalahan saudaranya dan berusaha menutupi kebaikan yang ada...

Sungguh kasihan...

Padahal perbuatan baik itu menghapus perbuatan buruk..

Lalu mengapa kita gemar "mencatat" perbuatan buruk saudara muslim...?

@sahabatilmu

Copast


Posted via Blogaway