Selasa, 11 November 2014

Kisah Perang Khaibar


Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh kaum Yahudi setelah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah tatkala mereka melanggar perjanian damai. Di sana mereka menyusun makar untuk melampiaskan dendamnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam, dan kaum muslimin.
Dendam Yahudi memang telah menumpuk; mulai terusirnya Bani Qainuqa, Bani Nadhir, terbunuhnya dua tokoh mereka, hingga pembantaian terhadap Bani Quraizhah dan sejumlah tokoh mereka yang dibunuh oleh kaum muslimin.
Telah lewat pembahasan bahwa kaum Yahudi adalah penggerak pasukan Ahzab pada Perang Khandaq. Ini berarti kali yang keempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi umat Yahudi agar kita mengetahui bagaimana sejarah hitam umat Yahudi dan dendam mereka yang sangat mendalam terhadap Islam.
Pasukan Berangkat
Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 sahabat yang ikut di Hudaibiyah berangkat menuju Khaibar. Telah kita ketahui bahwa sepulang mereka dari Hudaibiyah Allah menurunkan ayat sebagai janji kemenangan dari-Nya dan perintah untuk memerangi Yahudi di Khaibar dalam firman-Nya:
Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)
Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjanjikan harta rampasan (ghanimah) yang banyak kepada kaum muslimin, sebagai pendahuluannya adalah harta rampasan yang mereka peroleh pada Perang Khaibar itu. Adapun orang-orang badui atau munafik tatkala mereka mengetahui para sahabat akan menang dan mendapat rampasan perang, maka mereka untuk ikut dalam peperangan tersebut supaya mendapat bagian darighanimah maka Allah berfirman,
Orang-orang Badui yang tinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, “Biarkan kami, niscaya kami mengikuti kamu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)
Demikian itu karena Allah telah mengkhususkan rampasan Perang Khaibar sebagai balasan jihad, kesabaran, dan keikhlasan para sahabat yang ikut di Hudaibiyah saja.
Para sahabat berangkat dengan penuh keyakinan dan besar hati terhadap janji Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang paling kokoh dan kuat dengan benteng berlapis dan persenjataan serta kesiapan perang yang mapan. Mereka berjalan sambil bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara tinggi hingga Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan memerintahkan agar merendahkan suara sebab Allah Maha Dekat, bersama kalian, tidak tuli, dan tidak jauh. (Bukhari: 4205)
Sebelum subuh mereka tiba di halaman Khaibar, sedang Yahudi tidak mengetahuinya. Tiba-tiba ketika berangkat ke tempat kerja, mereka (orang-orang Yahudi) dikejutkan dengan keberadaan tentara; maka mereka berkata, “Ini Muhammad bersama pasukan perang.” Mereka kembali masuk ke dalam benteng dalam keadaan takut. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, binasalah Khaibar. Sesungguhnya jika kami datang di tempat musuh maka hancurlah kaum tersebut.” (Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”
Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)
Perang Tanding
Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhu melawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhumelawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.
Benteng Khaibar terdiri dari tiga lapis, dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Kaum muslimin memerangi dan menguasai benteng demi benteng. Setiap kali Yahudi kalah dari pertahanan pada satu benteng, mereka berlindung dan berperang dalam benteng lainnya hingga kemenagan mutlak berada di tangan kaum muslimin.
Korban Perang
Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.
Di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (MushonnafAbdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)
Daging Beracun
Kaum Yahudi tidak pernah dan tidak akan berhenti dari makar buruk terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan Islam karena tabiat mereka, sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Alquran:
Mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Ali Imron: 112)
Tatkala mereka kalah dari Perang Khaibar dan beberapa kali upaya untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal, maka mereka bermaksud untuk membunuh beliau dengan siasat baru. Seorang wanita Yahudi berperan besar dalam makar buruk ini, yaitu memberi hadiah berupa menyuguhkan hidangan daging kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyisipkan racun yang banyak padanya.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan, daging tersebut mengabari beliau bahwa ia beracun. Maka beliau memuntahkannya. Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih mulia daripada mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memahami bahasa semut sebab ia makhluk hidup yang bernyawa memiiki mulut untuk berbicara, sedangkan sepotong daging tersebut sebagai makhluk yang mati bahkan telah matang dipanggang dengan api.
Adapun Bisri bin Baru radhiallahu ‘anhu, yang ikut makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia karena racun tersebut. Sebab itu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh wanita ini sebagai qishosh.
Perdamaian
Setelah umat Yahudi kalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk mengusir mereka dari Khaibar. Akan tetapi mereka memohon kepada beliau agar membiarkan mereka mengurusi pertanian dengan perjanjian bagi hasil, maka Rasulullah menerima permohonan itu dengan syarat kapan saja beliau menghendaki maka beliau berhak untuk mengusir mereka. Hingga akhirnya mereka diusir oleh Umar bin Khaththab di zaman kekhalifahannya setelah beberapa kali mereka berbuat kejahatan terhadap kaum muslimin.
Pembagian Rampasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.
Bahaya Ghulul
Ghulul adalah mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Mid’am, seorang pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia akibat terkena panah. Maka sahabat mengatakan, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.” Mendengar ini, ada seseorang yang datang mengaku, “Ini satu atau dua tali sandal aku peroleh sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Itu termasuk neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Yahudi Fadak
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengauasai dan mengalahkan Khaibar maka Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi di Fadak –sebelah utara Khaibar-, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah untuk perjanjian damai dengan menyerahkan separuh bumi Fadak kepadanya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut dan beliau khususkan untuk dirinya sebab ia termasuk rampasan perang (fai) yang diperoleh tanpa perang (pertempuran).
Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Yahudi di Wadi Quro hingga mereka menyerah dan kalah. Mengetahui hal ini, Yahudi Taima’ juga segera berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membayar jizyah (upeti, red.)
Pelajaran
  1. Dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan makan daging keledai piaraan.
  2. Tampak mukjizat kenabian seperti Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi mata Aliradhiallahu ‘anhu lalu sembuh, daging yang mengabari beliau bahwa ia mengandung racun, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meniup tiga kali pada bekas pukulan pedang yang mengenai lutut Salah bin Akwa radhiallahu ‘anhu lalu dia tidak kesakitan setelah itu.
  3. Boleh berdamai dengan Yahudi dalam waktu yang ditentukan dan boleh memerangi orang kafir pada bulan haram. Lihat Sirah Nabawiiyyah karya Dr. Mahdi Rizqulloh Ahmad: 479-492.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H
http://kisahmuslim.com/kisah-perang-khaibar/

Sabtu, 13 September 2014

Mengokohkan Karakter Al-Jundiyah (Keprajuritan)

Adalah sudah selayaknya bila umat Islam—
terlebih lagi aktivis dakwah—menjadikan
hidupnya sebagai prajurit yang senantiasa
siap menghadapi perjuangan di jalan Allah.
Sejarah umat Islam adalah sejarah perjuangan
yang terus-menerus berkesinambungan dalam
menjunjung tinggi kebenaran agama Allah
dan menjaga kelestarian dakwahnya, serta
menjauhi segala godaan dunia lahir dan
batin.
Karakter al-jundiyah diantaranya
termanifestasikan dalam bentuk amal yang
berkesinambungan tanpa lelah dan tanpa
bosan. Sedangkan maratibul amal (rangkaian
amal)-nya adalah:
1. Perbaikan individu ( ishlah al-fard )
2. Perbaikan rumah tangga ( ishlahul al-bait )
3. Perbaikan masyarakat ( ishlah al-mujtama’ )
4. Pembebasan negeri ( tahrir al-wathan )
5. Perbaikan pemerintahan ( ishlah al-hukumah )
6. Penyiapan tegaknya khilafah ( bina al-
khilafah )
7. Pemanduan dunia ( ustadziah al-alam )
Karakter keprajuritan yang lainnya adalah
senantiasa berkobarnya ruhul jihad. Urutan
jihad yang pertama dituntut dari para aktivis
dakwah adalah pengingkaran hati terhadap
kemaksiatan pada Allah, dan puncaknya
adalah berperang di jalan Allah ta’ala.
Diantara keduanya ada jihad dengan lisan,
pena, tangan, dan kata-kata yang benar di
hadapan penguasa yang zalim.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah
kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj, 22: 78)
Ibnu Abbas ra berkata tentang pengertian
jihad, “Jihad adalah menguras potensi dalam
membela agama Allah, dan tidak takut
cercaan orang yang mencerca dalam
melaksanakan agama Allah.”
Muqatil berkata, “Makna jihad adalah:
Bekerjalah untuk Allah dengan sebenar-benar
kerja, dan beribadahlah dengan sebenar-benar
ibadah.”
Ibnul Mubarak berkata, “Jihad adalah
mujahadah terhadap jiwa dan hawa nafsu.”
DR. Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata, “Jihad
adalah mencurahkan potensi dalam rangka
meninggikan kalimat Allah, dan membentuk
masyarakat muslim. Sedangkan mencurahkan
tenaga dengan melakukan perang adalah salah
satu jenis dari jihad. Tujuan jihad adalah
membentuk masyarakat yang islami, dan
membentuk negara Islam yang benar.”
Sifat keprajuritan ditunjukkan pula dengan
at-tadhiyah , yakni mengorbankan jiwa, harta,
waktu, kehidupan, dan segala-galanya demi
mencapai tujuan.Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka.”
(QS. At-Taubah, 9: 111)
Berikutnya ditunjukkan pula dengan ketaatan
kepada qiyadah . Karena itu para aktivis
dakwah harus senantiasa siap melaksanakan
perintah qiyadah dan merealisir dengan
segera, baik dalam keadaan sulit maupun
mudah, saat bersemangat maupun malas.
Seorang mujahid dakwah sejati akan
senantiasa tsabat , yakni teguh beramal
sebagai mujahid dalam memperjuangkan
tujuannya, betapa pun jauh jangkauan dan
lama waktunya. Ia tetap dalam keadaan
seperti itu sampai bertemu Allah Ta’ala .
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-
orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka
ada yang gugur. dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merobah (janjinya), (QS. Al-Ahzab, 33:
23)
Selain itu, sebagai prajurit dakwah mereka
akan selalu bersungguh-sungguh pada suatu
urusan. Iatidak merasa berat
mempersembahkan jiwa di jalan Allah ta’ala
dan mengatur segala urusannya serta seluruh
kehidupannya sejalan dengan hukum-hukum
dan perintah-perintah Allah ta’ala. Para
aktivis dakwah harus mampu menegakkan al-
haq di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan
mereka, dalam bentuk aqidah, akhlak,
ibadah, dan perilaku sehari-hari. Hasan
Hudhaibi berkata: “Wahai Ikhwan,
tegakkanlah Islam di dalam hatimu, tentu ia
akan tegak di bumimu.”
Sifat keprajuritan yang tak kalah penting
adalah tsiqah, yakni rasa puasnya seorang
prajurit atas komandannya dalam hal
kemampuan dan keikhlasannya, dengan
kepuasan mendalam yang menumbuhkan rasa
cinta, penghargaan, penghormatan, dan
ketaatan.

Sumber: www.al-intima.com/harakatuna/mengokohkan-karakter-al-jundiyah-keprajuritan


Posted via Blogaway

Kamis, 11 September 2014

Persoalan-Persoalan Seputar Akikah


Pertanyaan :
Banyak pertanyaan diajukan kepada
Redaksi seputar mengakikahi diri sendiri
dan mengakikahi setelah hari ke-7
kelahiran. Juga bila baru punya satu
kambing untuk akikah anak laki-laki
bolehkah dengan satu kambing dahulu,
dan yang lain menyusul? Demikian juga
apakah bayi yang meninggal diakikahi?
(Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi) :
1. Mengakikahi diri sendiri.
Dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat, yang terkuat dari pendapat
yang ada adalah boleh. Berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menerangkan bahwa beliau
mengakikahi dirinya sendiri setelah
menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang
paling kuat (rajih). Sebagian ulama
melemahkannya, namun pendapat
mereka keliru. Oleh karena itu, kami
akan sedikit menyampaikan pembahasan
hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang
lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya
hanya akan meringkas apa yang
dijabarkan oleh beliau dan sedikit
menambahkan yang perlu. Adapun bunyi
hadits itu. Anas berkata,
ْﻦَﻋ َّﻖَﻋ ِﻪِﺴْﻔَﻧ َﺚِﻌُﺑ ﺎَﻣَﺪْﻌَﺑ ﺎًّﻴِﺒَﻧ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah
diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat
Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai
sanad yang sampai kepada sahabat Anas
radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin
al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas,
dari Anas bin Malik z.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi,
ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’
al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn
A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-
Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari
Qatadah, dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq,
Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
 Untuk rantai sanad yang pertama, asy-
Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah
sanad yang hasan, para rawinya adalah
orang-orang yang yang telah dijadikan
hujah (para periwayat tepercaya) dalam
Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin
Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil)
sendiri adalah seorang yang tsiqah
(tepercaya) dan hafizh (penghafal
hadits), salah seorang guru al-Imam
Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna,
beliau adalah salah seorang periwayat
dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-
Bukhari rahimahullah menganggap
bahwa Abdullah bin al-Mutsanna
termasuk tepercaya. Namun, ternyata
ada ulama lain yang membicarakan
Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena
itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
mendudukkan perselisihan ini dengan
kesimpulan bahwa al-Bukhari
rahimahullah hanya memercayai
sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna
apabila dia meriwayatkan dari
pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak
bertumpu pada riwayatnya.
Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita
bahas ini beliau riwayatkan dari
pamannya, Tsumamah bin Anas,
sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari
dalam hal ini.
a) Mengenai rantai sanad yang kedua,
terkhusus adanya perawi yang bernama
Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-
Albani mengatakan, “Semacam sanad
tersebut bisa dijadikan pendukung
sehingga hadits semakin kuat
dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu
Hatim—beliau termasuk ulama yang
keras dalam mencacat para rawi—
mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak
ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,”
yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan,
“Dia adalah orang yang diperhitungkan
pendapat dan fatwanya, memiliki
pandangan dan hafalan terhadap hadits.
Karena itu, aku dahulu menulis hadits
darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang
ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
b) Mengenai rantai sanad yang ketiga,
para ulama melemahkannya karena
kelemahan perawinya, yaitu Abdullah
bin al-Muharrar.
Dari pemaparan singkat tentang hadits
ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau
hasan. Di antara ulama yang
menganggap kuatnya hadits ini dari
ulama terdahulu adalah adalah adh-
Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam
kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-
Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan
Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya
Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga
dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-
Thahawi termasuk yang menerima hadits
ini karena mereka menyebutkan
sanadnya tanpa mengkritiknya.
Adapun para ulama yang menganggap
lemah hadits ini, di antaranya al-Imam
Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan
hadits ini mungkar, juga an-Nawawi
yang mengatakan batil, sesungguhnya
mereka melemahkan hadits ini dari jalur
rantai sanad yang ketiga. Dengan
demikian, pendapat yang membolehkan
mengakikahi diri sendiri adalah
pendapat yang rajih (kuat).
Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-
Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah
satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan
asy-Syaukani menggantungkan pendapat
ini dengan kesahihan hadits.
Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-
Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
“Apabila kamu belum diakikahi,
akikahilah dirimu walaupun kamu
lelaki.” Kata beliau, ‘walaupun kamu
lelaki’ karena ada yang mengkhususkan
hukum ini bagi wanita.
Muhammad bin Sirrin rahimahullah
mengatakan, “Seandainya aku tahu
bahwa aku belum diakikahi, tentu aku
akan mengakikahi diriku.” (ash-
Shahihah 6/506 qism 1)
Pendapat yang kedua, yang melarang,
adalah pendapat Malikiah. Al-Imam
Malik sendiri ada beberapa riwayat yang
berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid ,
4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada
pendapat ini mengatakan bahwa
seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini
adalah kekhususan bagi beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun,
sanggahan seperti ini lemah karena
kekhususan itu harus berdasarkan dalil,
sementara itu di sini tidak ada dalil yang
mengkhususkan hal ini untuk beliau.
2. Mengakikahi selain hari ketujuh.
Dalam hal ini ada tiga pendapat
sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah
al-Iraqi dalam kitab Tharhu at-Tatsrib.
Namun, dengan mengetahui persoalan
pertama, yaitu bolehnya seseorang
mengakikahi dirinya, tampak jelas
bahwa diperbolehkan mengakikahi
setelah hari ketujuh. Walaupun tentu
sangat ditekankan untuk melakukannya
pada hari ketujuh saat ada kemampuan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
ُّﻞُﻛ ٍﻡَﻼُﻏ ٌﺔَﻨﻴِﻫَﺭ ِﻪِﺘَﻘﻴِﻘَﻌِﺑ ُﺢَﺑْﺬُﺗ
ُﻪْﻨَﻋ َﻡْﻮَﻳ ِﻊِﺑﺎَّﺴﻟﺍ
“Tiap anak itu tergadai dengan
akikahnya yang disembelih pada hari
ketujuh.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan
yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-
Syaikh al-Albani)
Di antara yang berpendapat bolehnya
setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-
Syafi’i, Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Yang tampak, pengaitan akikah dengan
hari ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah
saja apabila menyembelih pada hari ke-4,
ke-8, ke-10, atau setelahnya. Penentuan
waktu ini adalah untuk
penyembelihannya, bukan untuk
memasak atau memakannya.” (Tuhfatul
Maudud hlm. 76)
Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak
membolehkan sebelum hari ketujuh.
Apakah penyembelihan itu pada hari
kapan saja ataukah tiap kelipatan
ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena
riwayat yang menyebutkan kelipatan
ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah
diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani t
dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
3. Hanya memiliki satu ekor kambing
untuk akikah anak lelaki.
Dalam hal ini hendaknya ia menunggu
sampai memiliki dua ekor kambing, dan
tidak menyembelih terlebih dahulu
kambing yang dia miliki. Hal ini
berdasarkan sabda Rasul Shallallahu
‘alaihi wasallam,
ِﻦَﻋ ِﻡَﻼُﻐْﻟﺍ ِﻥﺎَﺗﺎَﺷ ِﻥﺎَﺘَﺌِﻓﺎَﻜُﻣ
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing
yang mukafi’ataan.” (Sahih, HR. Abu
Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih
oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan
dengan beberapa penafsiran, di
antaranya adalah mutaqaribatan, yakni
seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih
bersamaan’. Dawud bin Qais pernah
bertanya kepada Zaid bin Aslam, ia
mengatakan, “Aku bertanya kepada Zaid
bin Aslam tentang makna mukafi’atan.”
Beliau menjawab, “Dua kambing yang
mirip, yang disembelih bersama-
sama.” (Musykilul Atsar karya ath-
Thahawi)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang
Akikah Janin yang Gugur dan Bayi yang
Meninggal
Pertanyaan :
Janin yang gugur dari kandungan yang
telah jelas bahwa dia laki-laki atau
perempuan, apakah diakikahi atau
tidak? Demikian juga bayi yang terlahir
apabila meninggal beberapa hari setelah
kelahiran sementara belum diakikahi
saat dia hidup, apakah diakikahi setelah
kematiannya atau tidak? Apabila telah
lewat satu bulan, dua bulan, setengah
tahun, satu tahun, atau bahkan lebih
dari saat lahirnya bayi dan ia belum
diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Jawab:
Mayoritas para ulama berpendapat
bahwa akikah adalah sunnah,
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan
dari Salman bin Amir, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,
َﻊَﻣ ُﻎْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ ٌﺔَﻘْﻴِﻘَﻋ ﺍﻮُﻘﻳِﺮْﻫُﺄَﻓ
ُﻪْﻨَﻋ ،ﺎًﻣَﺩ ﺍﻮُﻄﻴِﻣَﺃَﻭ ُﻪْﻨَﻋ ﻯَﺫَﺄْﻟﺍ
“Bersama seorang anak itu akikahnya,
maka tumpahkan darah untuk
(akikahnya) dan hilangkan rambut
(kepalanya).”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan
oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ُّﻞُﻛ ُﻍ ٍﻝﺎَﻣ ٌﺔَﻨْﻴِﻫَﺭ ِﻪِﺘَﻘﻴِﻘَﻌِﺑ
ُﺢَﺑْﺬُﺗ ُﻪْﻨَﻋ َﻡْﻮَﻳ ،ِﻪِﻌِﺑﺎَﺳ ،ُﻖَﻠْﺤُﻳَﻭ
ﻰَّﻤَﺴُﻳَﻭ
“Tiap anak itu tergadai dengan
akikahnya yang disembelih pada hari
ketujuh, digundul, dan diberi
nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabussunan,
dan dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi)
Demikian pula hadits itu yang
diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syuaib dari
ayahnya, dari kakeknya, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ْﻦَﻣ َّﺐَﺣَﺃ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﻥَﺃ َﻚِﺴْﻨُﻳ ْﻦَﻋ
ِﻩِﺪَﻟَﻭ ،ْﻞَﻌْﻔَﻴْﻠَﻓ ِﻦَﻋ ُﻎْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ
ِﻥﺎَﺗﺎَﺷ ،ِﻥﺎَﺘَﺌِﻓﺎَﻜُﻣ ِﻦَﻋَﻭ ِﺔَﻳِﺭﺎَﺠْﻟﺍ
ٌﺓﺎَﺷ
“Barang siapa di antara kalian ingin
mengakikahi anaknya, lakukanlah.
Untuk anak laki-lakinya dua ekor
kambing yang seimbang dan untuk anak
perempuannya satu ekor kambing.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dengan
sanad yang hasan)
Tidak ada akikah untuk janin yang
gugur walaupun telah jelas apakah itu
laki-laki atau perempuan, apabila gugur
sebelum ditiupkan ruh padanya, karena
dia tidak disebut anak atau bayi. Adapun
akikah disembelih pada hari ketujuh
dari kelahiran, apabila janin dilahirkan
dalam keadaan hidup, lalu mati sebelum
hari ketujuh, maka disunnahkan untuk
diakikahi pada hari ketujuh dan diberi
nama. Apabila lewat hari yang ketujuh
dan belum diakikahi, Sebagian fuqaha
berpendapat bahwa tidak disunnahkan
untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan
waktunya pada hari ketujuh.
Sementara itu, ulama mazhab Hanbali
dan sekelompok ahli fikih berpendapat
bahwa disunnahkan untuk diakikahi
walaupun telah lewat satu bulan, satu
tahun, atau lebih, dari kelahirannya,
berdasarkan keumuman hadits-hadits
dan berdasarkan apa yang diriwayatkan
al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengakikahi dirinya setelah kenabian,
dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Allah Subhanahu wata’ala lah yang
memberi taufik. Semoga shalawat dan
salam tercurah kepada nabi kita
Muhammad n, keluarga, dan para
sahabatnya.
Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiah dan
Fatwa
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq
Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan.

Sumber:  www.asysyariah.com/problema-anda/


Posted via Blogaway

Rabu, 10 September 2014

Pembagian Sepertiga dari Hasil Qurban

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sering ada yang menanyakan apakah mesti hasil penyembelihan qurban dibagi 1/3 untuk shohibul qurban, 1/3 untuk sedekah pada fakir miskin dan 1/3 sebagai hadiah. Lalu apakah hasil qurban boleh dimakan oleh orang yang berqurban (shohibul qurban)? Pembahasan ini moga bisa memberikan jawaban.

Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, جِزَ ا رَتِهَاشَيْئًا الْمَسَاكِينِ] ،وَلاَ    يُعْطِىَفِى وَجُلُو دَهَاوَجِلاَ لَهَا [ فِى ،وَأَنْيَقْسِمَبُدْ نَهُكُلَّهَا ، لُحُو  مَهَا وسلم– أَمَرَهُ أَنْ   يَقُومَ عَلَى بُدْ نِهِ أَنَّ النَّ بِىَّ– صلىا  لله عليه

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).[1]”[2] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”[3]

Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.”[4]

Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:

1. Dimakan oleh shohibul qurban. 2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka. 3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.

Pemanfaatan yang terlarang dari hasil qurban, silakan pembaca rumaysho.com telusuri dalam tulisan lainnya di sini. Termasuk dalam bahasan qurban adalah permasalahan aqiqah, artinya pemanfaatan hewan aqiqah pun seperti yang dijelaskan di atas.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 28 Syawwal 1432 H (26/09/2011)

Sumber:   www.rumaysho.com/umum/pembagian-sepertiga-dari-hasil-qurban-1965


Posted via Blogaway

Rabu, 03 September 2014

Antara Ghibah dan Ghibthah

Ghibah Dan Ghibthah.

Walau hanya selisih sedikit huruf, ada pembeda besar antara ghibah dan ghibthah.

Meski keduanya menyangkut sikap kita terhadap seseorang.

A. Ghibah = Keburukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala menjelaskan definisi ghibah,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Engkau menyebutkan tentang saudaramu dalam perkara yang dia benci (bila diketahui).."

(HR. Muslim: 2589, Tirmidzi: 1935, Abu Daud: 4874)

B. Ghibtah = Kebaikan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad melainkan kepada dua orang:

1. Seorang yang dikaruniakan Allah harta, lalu ia membelanjakannya dalam kebajikan.

2. Seorang yang Allah beri ilmu, maka ia memutuskan perkara dengan ilmu itu dan mengajarkannya...” (HR. Al-Bukhari: 73, Muslim: 816)

Hasad di sini bermakna gibthah atau kecemburuan dalam kebaikan.

Yaitu keinginan memperoleh fadhilah keutamaan serupa tanpa berharap hilangnya keutamaan tersebut dari saudaranya.

Namun anehnya, sekarang ini saat ada seseorang yang berbuat kebaikan.

Bukan ghibtah yang dilakukan malah ghibah, sibuk mencari-cari kesalahan saudaranya dan berusaha menutupi kebaikan yang ada...

Sungguh kasihan...

Padahal perbuatan baik itu menghapus perbuatan buruk..

Lalu mengapa kita gemar "mencatat" perbuatan buruk saudara muslim...?

@sahabatilmu

Copast


Posted via Blogaway

Kamis, 28 Agustus 2014

KISAH MUJAHID PENGHAFAL QURAN YANG MENINGGAL DALAM KONDISI MURTAD

Kisah pilu seorang tabiin yg hafidz qur'an namun murtad pd saat berjihad. Hny krn asmara...
Lelaki gagah itu mengayunkan pedangnya menebas tubuh demi tubuh pasukan romawi. Ia adalah seorang tabiin (270H) yg hafal qur'an. Namanya adalah sebaik-baik nama, Abdullah bin Abdurrahim. Keimanannya tak diragukan. Adakah bandingannya didunia ini seorang mujahid nan hafal quran. Namun lacur akhir hayatnya mati dalam kemurtadan dan hilang hafalannya melainkan 2 ayat sahaja yg tersisa. Yaitu surah al hijr ayat 2-3, rubamaa yawaddulladziina kafaru lau kaanu  muslimiin, dzarhum ya`kulu wayatamatta'u wayulhihimul amal-fasaw faya'lamuun. (Org2 kafir itu diakhirat nnt sering menginginkan andai didunia dulu mrk muslim. Biarkanlah mrk mkn dn senang2, dilalaikan oleh angan2 kosong belaka, kelak mrk akan tahu akibatnya).  Seolah ayat ini adalah kutukan sekaligus peringatan اَللّه yg terakhir namun tak digubrisnya. Apakah penyebabnya? Penyebabnya adalah wanita. Inilah kisahnya;
Pedangnya masih berkilat2 memantul sinar mentari. Masih segar berlumur merahnya darah org romawi. Ia hantarkan org romawi itu ke neraka dg pedangnya. Tak disangka nantinya dirinyapun dihantar ke neraka oleh seorang wanita romawi, tdk dg pedang melainkan dg asmara. Kaum muslimin sedang mengepung kampung romawi. Tiba2 mata Abdullah tertuju kpd seorang wanita romawi di dalam benteng. Kecantikan dan pesona wanita pirang itu begitu dahsyat mengobrak-abrik hatinya. Dia lupa bahwa tak seorangpun dijamin tak lolos su'ul khotimah. Dia lupa bahwa maksiat dan pandangan haram adalah gerbang kekufuran. Tak tahan, iapun mengirimkan surat cinta kpd wanita itu. Isinya kurang lebih: "Adinda, bgm caranya agar aku bs smp ke pangkuanmu?" Perempuan itu mjwb: "Kakanda, masuklah agama nashrani maka aku jd milikmu."
Syahwat telah memenuhi relung hati Abdullah sampai2 ia mjd lupa beriman, tuli peringatan dan buta alquran. Hatinya terbangun tembok anti hidayah.
Khotamallaahu 'ala qulubihim wa'ala sam'ihim wa'ala abshorihim ghisyawah... Astaghfirullah, ma'adzallah. Pesona wanita itu telah mampu mengubur imannya di dasar samudra. Demi tubuh cantik nan fana itu ia rela tinggalkan islam. Ia rela murtad. Menikahlah dia didalam benteng. Kaum muslimin yg menyaksikan ini sngt terguncang. Bgm mungkin? How come? Bgm bisa seorg hafidz yg hatinya dipenuhi alqur'an meninggalkan اَللّه dn mjd hamba salib? Ketika dibujuk utk taubat ia tak bs. Dikatakannya bhw ia telah lupakan qur'an kecuali 2 ayat diatas sj dan ia bahagia hidup berlimpah harta dan keturunan bersama kaum nashrani. Dalam keadaan spt itulah dia sampai wafatnya.
Ya اَللّه seorang hafidz nan mujahid sahaja bs Kau angkat nikmat imannya berbalik murtad jika sudah ditetapkan murtad, apatah lg hamba yg bnyk cacat ini. Tak punya amal andalan.

Saudaraku, doakan aku dan aku doakan pula kalian agr اَللّه lindungi kt dr fitnah wanita dan fitnah dunia serta dihindarkan dr ketetapan yg buruk diakhir hayat.

Ma taraktu ba'di fitnatan adhorro 'ala ar rijaal min nisaa...
"Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yg maha dahsyat bahayanya bagi lelaki kecuali fitnah wanita" (muttafaq 'alaih).

Disarikan dr tulisan DR. Hamid Ath Thahir dlm buku Dibawah Kilatan Pedang (101 kisah heroik mujahidin) COPAST


Posted via Blogaway

Sabtu, 23 Agustus 2014

Merekrut Kader Dakwah

Sebuah keniscahyaan bila jalan dakwah ini terus membutuhkan pasokan kader. Tak bisa dipungkiri, para aktivis dakwah (da'i) memiliki andil besar untuk mencetak kader generasi muda yang militan dan mampu mengemban amanah dakwah di masa depan. Kebutuhan kader yang semakin besar untuk mengisi posisi penting dan mengatur kontribusi membutuhkan kemampuan merekrut para da'i yang telah dahulu bergabung dalam barisan dakwah.

Lalu apa jadinya ketika para da'i sudah mulai lelah dan menurun daya rekrutnya? Sudah mulai nyaman dengan kondisi yang ada? Padahal kebutuhan kader sebagai lokomotif dakwah harus terus dipenuhi. Saat kapasitas rekruitmen da'i itu menurun, evaluasi dari dalam diri yang harus menjadi kunci.

Buku karangan Fathi Yakan ini membahas tentang berbagai strategi merekrut kader dakwah. Isti'ab. Secara bahasa berarti daya tampung. Isti'ab merupakan kemampuan  seorang da'i untuk menarik objek dakwah (mad'u) dan merekrut segala perbedaan intelektual, kejiwaan, status sosial, dan karakteristik individu lainnya. Setiap da'i harus mempunyai kemampuan isti'ab. Bahkan Fathi Yakan menyampaikan bahwa indikator keberhasilan dakwah seorang da'i salah satunya ditentukan oleh kemampuan isti'ab sebab tanpa isti’ab seorang tak akan pernah menjadi da’i, bila tak ada da'i maka tak akan ada dakwah.

Isti’ab dikelompokkan menjadi isti’ab eksternal dan internal. Dua bagian ini saling melengkapi satu sama lain. Keduanya harus berjalan beriringan sebab tiada guna penguasaan terhadap  masyarakat di luar tanzhim bila tak ada penguasaan terhadap masyarakat di dalam tanzhim. Isti’ab eksternal ibarat produsen yang membeli bahan baku, sedangkan proses produksi yang akan menjaga bahan baku yang dimiliki agar tidak hilang adalah isti'ab internal.

Isti'ab eksternal berhubungan dengan cara berdakwah agar dapat diterina dan dipercaya sehingga akan ada orang yang terpengaruh hingga mau bergabung untuk memperjuangkan dakwah. Dakwah adalah usaha berat yang harus dipikul oleh para da'i. Sehingga dalam merekrut mad'u dari luar, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh para da'i dalam proses rekruitmen.

Pertama, pemahaman tentang agama. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya ilmu hanya akan didapat dengan belajar, sedang pemahaman hanya akan didapat melalui pendalaman (tafaquh), dan barang siapa yang dikehendaki Allah baik maka ia akan diberi kepahaman dalam agama, sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamb-hamba-Nya adalah Ulama.” (HR. Bukhari). Pemahaman yang baik tentang agama mutlak harus dimiliki seorang da'i. Bagaimana bisa seorang da'i yang membawa kebenaran ia tak mengetahui kebenaran yang ia bawa? Hingga akhirnya para da'i dituntut untuk terus menerus belajar dari Al-Qur'an, sunnah, dan kepada para ulama.

Kedua, mampu menjadi teladan. Tak hanya melalui lisan, da'i harus berdakwah melalui perbuatan. Konsistensi antara ucapan dan perbuatan inilah teladan yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang da’i. Satu ayat Al-Qur'an yang selalu saya ingat dan saya bincangkan setiap kali bertemu dengan binaan saya adalah "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-shaf : 2-3). Naudzubillah, semoga Allah selalu nelindungi kita. Dan sebuah hadits pun mengatkan tentang hal ini. “Seseorang tidak akan beriman sehingga hati dan lisannya sama, lisan dan hatinya juga sama, ucapannya tidak berlawanan dengan perbuatannya dan tetangganya terbebas dari kejahatannya.”(HR. Al-Ashbahani).

Ketiga, sifat sabar itu perlu. Merekrut mad'u tanpa kesabaran dan terburu-buru tak akan bisa mencetak generasi dakwah yang militan. Bahkan mengelola mad'u yang telah membai'at dirinya menjadi da'i juga harus dengan penuh kesabaran. Membina halaqah misalnya. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”(Ali-imron: 200)

Keempat, bersikaplah lemah lembut. Bersikap sabar dan lemah lembut itu ternyata berbeda. Ada satu sisi dalam sikap seorang da'i, sikap lemah lembut dalam menghadapi mad'u akan memberikan kenyamanan kepada mereka. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-imron : 159). [246]  Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Kelima, seorang da'i harusnya memberi Kemudahan. Seorang da’i hendaknya tidak mempersulit dalam menyelesaikan berbagai persoalan sebagaimana kaidah yang diterapkan rasulullah SAW dalam menentukan pilihan yang merupakan dasar yang mengatur muamalah. “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, senangkanlah mereka dan jangan membuat mereka lari” (HR. Bukhari-Muslim).

Keenam, da'i hendaknya tawadhu’ dan merendahkan sayap. Jangan sampai ujub mengisi hati seorang da'i. Mengingat Allah, merasakan bahwa Allah selalu melihat kita, muraqabatullah, mengingat bahwa sesuatu hanya milik Allah, bisa jadi akan mengikis rasa ujub diganti dengan tawadhu'. “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai adalah orang yang paling baik akhlaqnya, yang merendahkan sayap, yang mau menghimpin dan mau dihimpun. Sedangkan orang yang paling aku benci adalah orang yang mengadu domba, yang memecah belah orang-orang yang saling mencintai dan mencari-cari aib orang yang tidak berdosa.”(HR. Thabrani).

Ketujuh, murah senyum dan perkataan yang baik. Allah SWT berfirman, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah : 263). [167]  Perkataan yang baik maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian ma’af ialah mema’afkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima. Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Janganlah kalian memandang remeh kebaikan sedikit pun, meski kebaikan itu hanya berupa wajah berseri ketika bertemu dengan saudara kalian” (HR. Muslim).

Kedelapan, seorang da'i harus dermawan dan mau berinfak kepada orang lain. Dalam merekrut kader, menafkahkan sebagian dari harta kita tentu akan mendapatkan balasan lebih dari Allah. Dicontohkan pula oleh Rasulullah dan para sahabatnya, beliau rela hidup sederhana demi tetangganya atau rakyatnya tak kelaparan. “Orang yang dermawan dekat dengan Allah dan dekat dengan surga, dekat dengan manusia dan jauh dari api neraka. Sedang orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia dan dekat dengan neraka. Orang yang jahil tapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang banyak ibadahnya tapi bakhil” (HR. Tirmidzi). Sikap dermawan akan membawa kita dekat dengan objek dakwah (mad'u) yang akan kita rekrut.

Kesembilan, mampu melayani dan membantu orang lain. Berdakwah dengan melayani tentu akan sangat nikmat. Masih ingat bukan sirah ketika Rasulullah selalu mengunyahkan makan bagi seorang yahudi buta?  “Sesungguhnya diantara hal yang bisa memberikan pengampunan adalah menyenangkan hati seorang Muslim.” (HR. Thabrani). “Siapa yang memasukkan kebahagiaan ke dalam penghuni rumah kaum muslimin maka Allah tidak rela memberinya pahala selain surga.” (HR. Thabrani).

Sembilan hal tadi adalah kunci seorang da'i untuk merekrut kader eksternal. Lain jalnya dengan isti'ab eksternal, isti’ab internal cenderung membahas kapasitas dalam mengelola kemampuan dan keahlian dalam menampung objek dakwah yang telah berada di tengah-tengah jama'ah, para mad'u yang telah membai'at dirinya menjadi seorang da'i. Proses isti’ab internal memerlukan dua tahap utama, yaitu isti’ab aqidi & tarbawi sebagai tahap pertama dan isti’ab haraki sebagai tahap kedua.

Isti’ab aqidi berhubungan dengan pembersihan dari berbagai polutan masa lalu, baik menyangkut pemikiran atau tindakan, dan mencuci otak mereka dari karat-karat yang menempel berupa berbagai hal yang tidak islami. Inilah tahap yang paling penting sebab akan menjadi dasar kesuksesan membentuk karakter da'i yang militan.

Isti’ab tarbawi berhubungan dengan kapasitas tarbiyah, memperhatikan perkembangan kehidupan dan tahapan alami dan spesifik yang dilalui oleh mad'u sebagai seorang individu. Isti'ab tarbawi harus terukur dan menggunakan semua parameter syari’at dengan mengambil semua ‘azimah (hukum asal)-nya dan berbagai keringanannya.

Berbagai penyakit kader yang muncul dan menjadi sebab berjatuhannya kader selama melakukan perjalanan dakwah tak lain disebabkan kegagalan dalam proses isti'ab ini. Oleh karena itu, perlu beberapa kaidah utama yang dijelaskan oleh sunnah nabawiyah dalam proses pembentukan pribadi muslim.

Kaidah pertama, memenangkan sisi positif atas sisi negatif. Pengajaran untuk selalu membuat manfaat daripada mudharat penting dalam membentuk pribadi kader dakwah. “Orang yang bergaul dengan masyarakat, dan bersabar terhadap gangguannya lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dg masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguannya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kaidah kedua, memenangkan sikap proporsional atas sikap berlebih-lebihan. Penekanan untuk bersikap tawazun harus dilakukan dari awal. Jangan sampai seorang da'i tak bisa mengatur kehidupannya sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan. Bagaimana bisa mengelola orang lain jika mengelola dirinya sendiri tidak bisa? “Ingatlah, akan hancur orang-orang yang berlebih-lebihan.” (HR.Muslim,Abu Dawud dan Ahmad).

Kaidah ketiga, sedikit dan kontinu lebih baik daripada banyak namun terputus. Pembinaan harus dilakukan terus menerus. Hal ini bisa menjadi wajihah (sarana) untuk mengevaluasi kemajuan mad'u pula. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan oleh pelakunya secara kontinu” (HR. Bukhari dan Malik.

Kaidah keempat, mendahulukan prioritas dalam pembentukan. Pelajaran dalam kitab fiqh prioritas harus dipahami betul oleh seorang da'i. Ia harus mampu memilih dan mendahulukan prioritas utama dalam berdakwah. “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah : 177).

Kaidah kelima, pembentukan melalui keteladanan. Lagi-lagi menjadi teladan adalah teknik berdakwah yang paling mempan. Dalam keteladanan juga harus memperhatikan bahwa proses pembentukan harus menyeluruh dan tidak parsial dan menyadari bahwa keshalihan lingkungan akan mempengaruhi proses pembentukan. “Perumpamaan teman yang baik dan yang jelek adalah seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Pembawa minyak wangi akan memberikan minyak wangi kepadamu atau kamu membeli darinya atau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi, ia akan membekar bajumu atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Tahap terakhir dalam isti’ab internal ialah isti’ab haraki. Isti'ab haraki adalah kemampuan sebuah pergerakan dalam menampung anggotanya. Selain itu, isti'ab jaraki juga menaungi kemampuan gerakan dan anggotanya dalam menampung berbagai persoalan, prinsip, dan kaidah-kaidah pergerakan. Para da’i harus menguasai pemahaman yang benar dan sempurna, serta mampu menciptakan sarana yang digunakan, memahami tanzhim dan tabiatnya dengan benar, pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap tabiat teman dan lawan beserta konsekuensinya. Pemahaman yang baik tentang berbagai aspek, tabiat dan kebutuhan amal, serta menjauhi istiknaf (keengganan untuk bergabung dalam masyarakat atau instansi atau berbagai organisasi yang ada).

Sekian bedah buku berjudul Isti'ab karya Fathi Yakan. Semoga bermanfaat sebagai pengetahuan kita dalam berdakwah memperjuangkan kebenaran.

Salam kontribusi.

Deslaknyo, dalam perenungan di Masjid Al-Hurriyyah IPB.

Copast dari Group WA Tetangga


Posted via Blogaway

Selasa, 01 Juli 2014

Begini Seharusnya seorang Muslim berinteraksi di Facebook

Facebook merupakan salah satu sosial media terpopular di dunia. Muslim boleh menggunakan fasilitas ini sepanjang mengikuti etika yang diatur dalam agama Islam. Berikut panduan berinteraksi di Facebook, dilansir dari Wikihow.com, Selasa (1/7) :

1. Ingat waktu

Agama Islam sangat menghargai waktu. Jangan sampai main Faceboo membuat kita menunda-nuda shalat.

2. Bijak memilih teman

Facebook bisa menjadi tempat diskusi banyak hal, termasuk agama. Perbanyak teman-teman seagama agar bisa saling mengingatkan dalam kebaikan.

3. Bagikan informasi seputar agama Islam

Informasi tentang perkembangan agama Islam tersebar luas di internet. Tidak ada salahnya Anda membagikan informasi tersebut di halaman akun Anda.

4. Hati-hati dengan lawan jenis

Anda harus ekstra hati-hati dalam memberikan informasi di Facebook. Banyak orang menggunakan media ini untuk tujuan romantis. Padahal Islam melarang hubungan seperti ini, baik offline maupun online pada yang bukan muhrim. Jangan ragu untuk menghapus pertemanan mereka yang terkesan flirting.

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/14/07/01/n803dm-begini-seharusnya-orang-islam-berinteraksi-di-facebook


Posted via Blogaway

Jumat, 30 Mei 2014

PDIP Inteli Masjid se-Indonesia

Anggota Tim Sukses Jokowi-JK Eva Kusuma Sundari tidak menampik itu. Dia mengatakan, memang kader partai yang muslim diminta untuk melakukan aksi intelijen terhadap masjid-masjid.

Pihaknya melakukan pengawasan terhadap masjid-masjid, karena dikhawatirkan menjadi tempat terjadinya kampanye hitam.

Eva mengatakan, salah satu yang sudah menginstruksikan itu adalah PDC PDIP Jakarta Timur.

"Karena memang serangan kepada Jokowi-JK di masjid-masjid sangat intensif," kata Eva kepada situs RMOL, Jumat (30/5/2014).

Eva menyebutkan, kampanye hitam di masjid-masjid banyak terjadi. Bahkan, lanjutnya, kini makin marak dan masif.

Partai awalnya tidak menghiraukan. Namun, pihaknya menilai aksi ini makin marak. Mereka heran kenapa masjid menjadi tempat kampanye hitam.

Bahkan, pihaknya juga akan merekam aktivitas khutbah di masjid-masjid. "Jadi diperlukan pemantauan. Kalau bisa direkam agar supaya masjid tidak dikotori fitnah," katanya.

Cara ini, kata Eva, memang belum semua daerah atau masjid-masjid di Indonesia belum semua dipantau. Namun, ke depannya akan diberikan instruksi agar seluruh masjid di Indonesia dipantau.

"Bukan tidak mungkin diikuti seluruh (Indonesia). Karena di Jabar sangat meluas," kata anggota Komisi III DPR ini.

Cara-cara PDIP ini mengingatkan cara Orba di periode 1970-1980-an. Saat itu setiap masjid diminta memberikan daftar khatib yang akan berbicara di khutbah Jumat. Bahkan di masjid-masjid tertentu rezim Orba sampai meminta bahan yang akan dikhotbahkan. Saat itu para pengurus masjid (DKM) harus melaporkan hal itu kepada Dinas Sospol setempat. [gus]

Sumber: http://m.inilah.com/read/detail/2105072/pdip-inteli-masjid-se-indonesia


Posted via Blogaway

Rabu, 07 Mei 2014

Nasihat Bijak Dari Salah Satu Orang Terkaya Dunia

Warren Buffett adalah orang terkaya no. 3 di dunia saat ini yang di kenal sebagai seorang investor dan pakar saham. Berikut nasehat Warren Buffet tentang uang & kekayaan .... "Jauhkan dirimu dari pinjaman bank atau kartu kredit dan berinvestasilah dengan apa yang kau miliki, serta ingatlah .... Uang tidak menciptakan manusia, manusialah yang menciptakan uang. Hiduplah sederhana sebagaimana dirimu sendiri Jangan melakukan apapun yang dikatakan orang, dengarkan mereka, tetapi lakukan apa yang baik saja. Jangan memakai merk, pakailah yang benar dan nyaman untukmu. Jangan habiskan uang untuk hal-hal yang tidak benar-benar penting. Dengan uang ... Anda bisa membeli rumah, tetapi tidak bisa membeli tempat tinggal. Anda bisa membeli jam, tetapi tidak bisa membeli waktu. Anda bisa membeli tempat tidur, tetapi tidak bisa membeli tidur pulas Dengan uang .. Anda bisa membeli buku, tetapi tidak bisa membeli pengetahuan dan kebijaksanaan Anda bisa mendapatkan kedudukan, tetapi tidak bisa membeli kehormatan. Dengan uang ... Anda bisa membeli darah, tetapi tidak bisa membeli kehidupan. Maka temukan kebahagiaan didalam diri Anda. Jika itu telah berhasil dalam hidupmu, berbagilah dan ajarkanlah pada orang lain. Orang yang berbahagia bukanlah orang yang hebat dalam segala hal, melainkan orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan senantiasa mengucap syukur Pasti Bermanfaat !

Sumber:http://m.kompasiana.com/post/read/443628/1/nasihat-bijak-dari-salah-satu-orang-terkaya-dunia.html


Posted via Blogaway